Sebuah dialog sederhana yang menggugah, mengungkap makna pentingnya ilmu dan kealiman melalui metode Amtsilati, sebuah metode yang menjadi tonggak baru dalam pendidikan pesantren.
Suatu hari, seorang santri berkesempatan untuk sowan ke ndalem Mbah K.H. Maimoen Zubair, seorang ulama kharismatik yang dihormati banyak kalangan. Di tengah suasana hening yang penuh hormat, Mbah Maimoen memanggil abdi dalemnya dengan nada lembut, “Conk… conk…”
Sang abdi dalem dengan sigap menjawab, “Wonten nopo, Yai?(Ada apa, Yai?)”
Mbah Maimoen kemudian bertanya, “Nang kene onok kitab Amtsilati ra’? (Di sini ada kitab Amtsilati ngga?)”
Namun, abdi dalem tersebut tidak menemukan kitab itu di ndalem. “Mboten enten, Yai, (Tidak ada, Yai,) ” jawabnya. Meskipun demikian, Mbah Maimoen merasa kitab itu mungkin ada di pondok, dan meminta abdi dalem untuk mencarinya lagi, “Coba golekno se’ wae. (Coba carikan dulu saja)”
Tak lama berselang, abdi dalem kembali dengan sebuah kitab di tangannya. Kitab itu ternyata adalah Kitab Amtsilati yang lengkap. Kitab tersebut diserahkan kepada Mbah Maimun, yang kemudian membacanya dengan teliti. Setelah beberapa menit, beliau mengalihkan perhatiannya kepada santri yang sowan dan bertanya, “Sampun khatam Amtsilati? (Sudah khatam Amtsilati?)”
Santri itu dengan penuh rasa syukur menjawab, “Alhamdulillah, sampun. (Alhamdulillah, sudah.)”
Mendengar jawaban itu, Mbah Maimoen memberikan sebuah pernyataan yang begitu mendalam, “Yo wes alim. (iya sudah termasuk golongan orang alim.)”
Kalimat ini singkat, tetapi memiliki arti yang mendalam. Dalam pandangan Mbah Maimoen, seorang santri yang mengkhatamkan Kitab Amtsilati telah mencapai tingkat keilmuan yang tinggi. “Alim,” kata beliau, sebuah istilah yang menunjukkan seseorang yang tidak hanya memahami ilmu tetapi juga mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber: M. Subhan mahasiswa Univ. Al Ahghaf Tarim Yaman
Penulis : Literasi Amtsilati