Berdirinya Darul Falah
Darul Falah secara tidak resmi telah berdiri semenjak kepulangan beliau (K.H. Taufiqul Hakim, red.) dari PonPes Maslakul Huda, Kajen-Margoyoso, Pati tahun 1996. Bersamaan kepulangannya dari Kajen, ada 4 teman beliau yang ikut ke Bangsri dengan tujuan kerja di sebuah toko mebel. Ternyata beberapa teman beliau yang ikut ke Bangsri termasuk orang yang hafal Alfiyyah, tetapi tidak tahu untuk apa Alfiyyah?. Kemudian mulailah proses pembelajaran oleh beliau sendiri dengan menerapkan contoh apapun yang ditunjukkan dasarnya hingga terkumpul 150 bait intisari Alfiyyah. Teman-teman beliau yang ikut mengaji diantaranya adalah Kang Saifuddin dari Jepat Lor; Kang Mahmuddin dari Ngagel; Saiful Ulum dari Bulu Manis; dan Zainal Abidin dari Tenggales, Kudus. Setengah tahun kemudian ada keponakan beliau bernama Shodiqin dan Nur dari Bondo, Jepara yang kemudian ikut mondok. Karena pada saat itu, beliau belum memiliki rumah yang layak huni dan keadaan ekonomi yang belum memungkinkan, beliau meminjam rumah Pak Imron yang berada tepat di depan rumahnya untuk mengaji. Kemudian bersama dengan enam orang tersebut, beliau mendirikan majelis ta’lim anak-anak yang saat itu hampir mencapai 100 anak. Seiring berjalannya waktu, karena merasa sungkan, beliau mendirikan gubuk kecil di samping rumah, tempatnya pun tidak layak karena banyak kecoak, nyamuk, dan atap yang bocor.

KH. Taufiqul Hakim bersama Pengasuh Pondok Pesantren Popongan, Klaten KH. Salman Dahlawi
KH. Taufiqul Hakim bersama Pengasuh Pondok Pesantren Popongan, Klaten KH. Salman Dahlawi

Berangkat ke Popongan, Klaten.
Merasa kurang dengan keilmuan yang dimiliki, beliau berguru thoriqoh ke Pondok Pesantren Al-Manshur, Popongan, Klaten di bawah asuhan K.H. Salman Dahlawi. Satu minggu kemudian ayahanda beliau wafat, namun beliau tidak bisa mengantarkan ke pemakamannya karena harus menyelesaikan ngaji thoriqoh. Disamping itu, jika pulang sudah tidak ada angkutan dan biaya. Sejak saat itu beliau bertekad tidak akan pulang. Selain mempelajari thoriqoh, beliau juga membantu pembangunan Pesantren Al-Manshur sebagai laden (pembantu tukang batu) tanpa menerima upah. Selama 100 hari, beliau mengkhatamkan thoriqoh yang mestinya harus ditempuh sekitar 5 tahun.

Kepulangan Beliau ke Bangsri
Setelah khatam thoriqoh, beliau pun pulang ke Bangsri. Suatu hal yang menyedihkan adalah majelis ta’lim yang beliau rintis bersama 4 orang teman beliau telah bubar, anak-anak yang mondok telah boyong, hanya Shodiqin lah yang kembali. Dan pada suatu hari, ada salah satu tetangga beliau yang pingsan dan tak sadarkan diri. Setelah beliau bacakan ayat kursi, Alhamdulillah dengan izin Allah orang tersebut bisa sembuh. Berawal dari situ, nama beliau mulai dikenal oleh masyarakat setempat. Anak-anak pun mulai berdatangan untuk belajar agama kepada beliau.

Bangunan Awal Pesantren
Bangunan Awal Pesantren


Pembangunan Awal Pesantren

Pada tengah malam, tepatnya jam 01.00 WIB., demi meningkatkan kenyamanan santri ketika belajar, beliau bersama para santri membongkar rumah beliau dan selesai ketika waktu shubuh tiba. Warga sekitarpun membrikan tanggapan negative dengan pertanyaan “mau tidur dimana nanti”. Dengan penuh kesabaran dan ketabahn beliau kembali membangun gubuk-gubuk kecil sambil memperbaiki rumah.

Terciptanya Amtsilati
Sampai tahun 2000, proses belajar-mengajar menggunakan metode menulis bait-bait Alfiyyah di papan tulis. Selanjutnya dibaca dan dipelajari bersama murid. Pada tahun yang sama, ada anak-anak putri yang bersekolah di MTs ikut mondok di tempat beliau. Santri selalu stabil 9 orang, bila ada yang masuk, ada yang keluar. Ternyata dari anak-anak kecil tadi ada yang bisa menerima, ada yang tidak bisa menerima, karena memang sama sekali tidak mengenal ilmu nahwu.

Suatu hari beliau mendengar ada sistem belajar cepat membaca Al-Qur’an, dan beliau menemukan kitabnya yaitu Qiro’ati. Terdorong dari metode Qiro’ati yang mengupas cara membaca yang ada harokatnya, beliau ingin menulis yang tidak ada harokatnya.

“ Orang mendengar ilmu nahwu jadi ngelu dan alergi. Orang mendengar ilmu shorof menegangkan syaraf.”

Terbentuklah nama AMTSILATI yang memiliki arti beberapa contoh dari saya, juga sesuai dengan akhiran “ti’ dari Qiro’ati. Beliau mulai merenung dan muncul pemikiran untuk mujahadah, di mana dalam thoriqoh ada do’a khusus yang jika seseorang secara ikhlas melaksanakannya, insya Allah akan diberi jalan keluar dari masalah apapun oleh Allah dalam jangka waktu kurang dari 4 hari. Setiap harinya beliau melakukan mujahadah hingga sampailah di tanggal 17 Ramadhan yang bertepatan dengan Nuzulul Qur’an. Terkadang, saat mujahadah beliau mengunjungi makam Mbah Ahmad Mutamakkin, di sana kadangkala beliau seakan-akan bejumpa dengan Syekh Muhammad Baha’uddin An-Naqsyabandiyyah, Syekh Ahmad Mutamakkin dan Imam Ibnu Malik dalam keadaan setengah sadar. Hari itu, seakan-akan ada dorongan kuat untuk menulis. Akhirnya, Amtsilati mulai ditulis sejak tanggal 17 Ramadhan hingga tanggal 27 Ramadhan. Selesailah penulisan Amtsilati dalam bentuk tulisan tangan. Amtsilati tertulis hanya sepuluh hari.

Kemudian diketik dengan komputer oleh Bapak Nur Subkhi, Kang Toni, dan Kang Marno. Proses pengetikan mulai dari Khulashoh sampai Qo’idah Amtsilati memakan waktu hampir satu tahun. Kemudian dicetak sebanyak sebanyak 300 set. Sebagai langkah awal terciptanya Amtsilati, beliau menggelar bedah buku di gedung Nahdlatul Ulama Kabupaten Jepara pada tanggal 16 juli 2002 dan diprakarsai oleh Bapak Nur Kholis. Sehingga timbullah tanggapan dari peserta yang pro dan kontra. Beruntungnya, salah satu peserta bedah buku di Jepara mempunyai kakak di Mojokerto yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren. Beliau bernama K.H. Hafidz, Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Qur’an. Beliau berinisiatif untuk menyelenggrakan pengenalan sistem cepat membaca kitab kuning menggunakan metode Amtsilati pada tanggal 30 Juni 2002. Ternyata acara di Mojokerto mendapat sambutan yang luar biasa. Terlihat dari banyaknya buku yang terjual, menimbang acara sebelumnya di Jepara banyak buku yang tidak laku. Dari Mojokerto mengalirlah berbagai dukungan hingga ke beberapa daerah di Jawa Timur. Melalui forum yang digelar oleh Universitas Darul Ulum, Jombang, Jember, hingga Pamekasan, Madura. Hingga saat ini, Amtsilati telah tersebar sampai ke luar Jawa, seperti Kalimantan, Batam, bahkan Amtsilati terkenal hingga ke luar negeri diantaranya Malaysia dan Singapura.


Peresmian Pondok Pesantren

Secara resmi, Pondok Pesantren Darul Falah didaftarkan ke Notaris (Bapak H. Zainurrohman, SH. Jepara) dengan nomor seri 02 pada tanggal 01 Mei 2002.

دار : Negeri atau rumah
فلاح : Bahagia atau beruntung. Terinspirasi dari PonPes Matholiul Falah
Secara filosofis, دار الفلاح memunyai makna: Rumah Keberuntungan atau Negeri Keberuntungan.

Santri Darul Falah berasal dari berbagai daerah di penjuru tanah air, diantaranya daerah Bali, Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jabodetabek, Banten, Bawean, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Dengan berkembangnya sistem pembelajaran mulai dari Amtsilati hingga Madin Pasca Amtsilati, Santri yang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren ini berjumlah kisaran 3000 Santri.